Kamis, 14 Agustus 2014

OC Story : Despair Boy - The Feel of Despair

Aku merebahkan diriku ke kasur asramaku. Sudah lama sekali orangtua dan kakakku tak pernah memberi kabar kepadaku. Aku hendak menghubungi mereka, selalu tak diangkat. Apakah mereka saking sibuknya tak pernah pedulikan diriku?

Namun, hal itu sangat sulit aku anggap enteng. Disana aku bukannya mendapat perlakuan menjadi murid, namun mereka malah menindasku layaknya binatang mengincar mangsanya. Aku sangat menderita. Aku tak tahu harus berbuat apa...

Mata biruku meneteskan air mata. Tidak, anak laki-laki tidak boleh menangis! Aku menghapus air mata itu, dan kembali menelpon kakakku. Aku harap ia mengangkatnya.

"Tuutt.. tuuuttt..."

Klek! Diangkat! Aku sangat bersyukur.

"Ini kepolisian. Ada apa?" aku terdiam. Polisi? Ada apa dengan kakak?!

"A-aku... adiknya...," sahutku, sedikit bergetar.

"Maafkan aku ya, dik. Namun, kakakmu barusan kami selidiki karena ia terbunuh oleh makhluk buas. Matanya hilang keduanya."

"APA?!" aku terpekik. Kakak? KAKAK?!

"Kami belum menemukan bukti-bukti lainnya. Kalau boleh tau adik dari-"

Klek. Aku menaruh gagang telpon itu. Sesak sekali dadaku karena kakakku, yang satu-satunya keluarga yang dekat denganku, tewas..

Kakak.... kakak.... siapa yang akan menghiburku...?

Beberapa hari ini, aku dikatakan belum membayar uang sekolah sebesar 100 dollar. Aku tambah sesak lagi karena orangtuaku tidak menghiraukan diriku lagi. Aku terasa dibuang. Aku dibuang oleh keluargaku sendiri... Aku disuruh untuk menjadi petugas bersih-bersih disana, dan disiksa terus oleh anak-anak sekolah.

Aku makin tak kuat, aku hendak membunuh mereka layaknya seseorang yang membunuh kakakku...

Malamnya, aku tidak tidur. Namun, aku pergi ke suatu toko. Aku mendapatkan uang itu dari hasil mencuriku dari dompet anak yang paling kaya disekolah itu. Aku membeli sebuah pisau dan beralasan kepada pemilik toko kalau pisau itu disuruh ibuku. Ia mempercayainya, dasar bodoh!

Dan, setelah kembali ke lingkungan asrama. Aku berjalan ke arah kamar anak yang paling jahat terhadapku. Namun, ketika aku menatap kaca jendela, mata biruku berubah menjadi warna campuran antara biru-ungu-merah. Keinginan membunuhku semakin besar, dan aku membuka pintu dengan berlahan. Tak disangka bahwa ada satu anak yang masih bangun.

"Mau apa kau kesini, pembantu?! Kamar ini tak cocok untukmu tau!" sahut anak tersebut.

"Diam, bajingan...." aku merasa ada yang mengendalikan badanku. Tanganku langsung melemparkan pisau itu terhadapnya dan mengenai pelipisnya. Darah keluar dari anggota badan itu dan menetes ke selimut. Dan, anak itu langsung ambruk seperti layaknya tidur.

Astaga! Aku benar-benar membunuhnya?! Bagaimana?!

Clark, anak yang paling jahat itu, terbangun. Ia terkejut melihat partner tidurnya tewas dengan pisau di pelipis.

"Ronald?! RONALD?!" ia mengguncang-guncangkan badan temannya, dan menatapku dengan sadis. "Pembantu iblis! Kau membunuhnya! Takkan kubiarkan kau hidup!"

"Hehe, justru kau yang menarik kata-katamu..." seringaiku terhadapnya. Ia marah dan mengepalkan tangannya. Dalam sekejap, aku menghindari serangannya dan mengambil pisau dari Ronald, kemudian aku menusukkannya di dadanya Clark.

"Huk! Huk! Huek!" Ia hendak berbicara, namun darah menahannya. Kebencianku semakin menjadi-jadi dan aku menarik pisau itu kebawah perutnya. Ia mengeluarkan darah yang semakin lama warnanya semakin pekat.

"Rasain," kataku, lalu mencabut pisau itu dan mengelapnya di baju Clark. Beruntung cipratan tersebut tak terkena pada bajuku. "Selamat malam, sampai jumpa kembali di neraka~"

Paginya, asrama heboh dengan kematian kedua anak tersebut. Aku melakukan aktivitas seperti biasa, dan menghiraukan apa yang terjadi. Polisi-polisi mulai berhamburan dan membuat garis agar tak seorangpun masuk kesana. Aku memberi seringai terhadap beberapa anak yang memperhatikanku.

"Pasti ini ulah Ryu! Aku yakin ini pasti ulahnya!" kata salah satu seorang murid. Aku tahu ia pasti menuduhku. Kemudian, beberapa diantara murid itu berbicara kepada kepala sekolah. Alhasil, aku disiksa dengan cara yang keras. Aku dipaksa melepas baju dan kedua tanganku diikat menggunakan rantai. Siapapun itu, pasti memukulku atau melukaiku menggunakan apapun. Dari pagi sampai malam, sampai kulitku berwarna pucat dan mataku menunjukkan bayangan dibawahnya. Aku akhirnya dikeluarkan menggunakan cara yang kasar juga.

Koper berisi barang-barangku dilempar ke jalanan sampai koperku terbuka dan semuanya terlempar. Aku meninggalkan sekolah ini dengan kenangan penuh pahit. Sialan!

Ketika aku hendak menangis hingga mataku bengkak, seorang laki-laki mendekatiku. Bertanya apa dan mengapa, aku menjelaskannya. Kupikir ia akan mengadopsiku, jadi aku tenang kali ini. Sialnya, sesampai ditempat tinggalnya, bukannya kenyamanan yang kudapat, tak kalah jauh sadis seperti yang aku bayangkan. Aku sudah kehilangan apapun, ia mengambilnya!

Akhirnya, pada tengah malam, aku beranjak dari kasurnya dengan diam-diam, dan memakai baju dengan segera. Tak peduli ada bekas darah, aku pergi dari rumahnya. Kini, aku sudah ditengah hutan dan akan membunuh anak ataupun pria dewasa.

Soon....

Ketika aku dihutan belantara yang tak kukenal namanya, kulihat ada seorang perempuan dan... laki-laki? Gondrong?

Hehe, mangsaku...

Aku langsung berlari ke arahnya dan ia menangkis pisauku. TRANG!

"Siapa kau?!" pekiknya, dengan suara agak kebocahan.

"Aku takkan membiarkanmu hidup, om!" seruku, mengarahkan pisauku ke mukanya.

"O-om?" tanyanya, bingung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar